Pengertian Konsep Kebudayaan Dalam Antropologi

Pengertian Konsep Kebudayaan Dalam Antropologi - Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Antropologi sebagai disiplin ilmu yang relatif baru itu terus berusaha mengidentifikasi dan mengembangkan konsep walaupun tidak seperti ilmu-ilmu lainnya yang lebih dahulu setle to stand up. Namun tetap memang tidak mudah untuk menyamakan suatu persepsi. 

Benar kata Banks dan Keesing (1958: 152) yang mengemukakan “No two anthropologists think exactly alike, or use precisely the same operating concepts or symbols” (“Tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya persis mirip, atau menggunakan dengan tepat sama pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol”).

Contoh ekstremnya bisa diambil tentang konsep “kebudayaan” yang paling umum, saya berpendapat ternyata paling tidak terdapat tujuh kelompok pengertian kebudayaan; (1) kelompok kebudayaaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan manusia; (2) kelompok kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi; (3) kelompok kebudayaan sebagai cara atauran termasuk cita-cita, nilai-nilai, dan kelakuan; (4) kelompok kebudayaan sebagai keterkaitannya dalam proses-proses psikologis; (5) kebudayaan sebagai struktur atau polapola organisasi kebudayaan; (6) kelompok kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia; (7) kelompok kebudayaan sebagai sistem simbol. Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, di antaranya; (1) kebudayaan; (2) evolusi; (3) culture area; (4) enkulturasi; (5) difusi; (6) akulturasi; (7) etnosentrisme; (8) tradisi; (9) ras dan etnik; (10) stereotip, dan (11) kekerabatan, (12) magis, (13) tabu, (14) perkawinan.

Pengertian Konsep Kebudayaan Dalam Antropologi


Istilah ”culture” (kebudayaan) berasal dari bahasa Latin yakni ”cultura” dari kata dasar ”colere” yang berarti ”berkembang tumbuh”. Namun secara umum pengertian ”kebudayaan” mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian ”kebudayaan” sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian (D’Andrade, 2000: 1999).

Tentu saja definisi di atas hanya sedikit memuaskan bagi para antropolog, sebab begitu beragamnya definisi kebudayaan sempat mencemaskan makin dalamnya perpecahan dan menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu (Saifuddin, 2005: 83). Sebagai contoh Kroeber dan Kluckhohn dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) bahwa ternyata pada tahun itu ada 160 definisi kebudayaan. Hal itu pula yang dirasakan antropolog Roger M. Kessing dalam Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. mengamati bahwa ”tantangan bagi antropolog dalam tahun-tahun terakhir adalah dipersempitnya ”kebudayaan” sehingga konsep ini mencakup lebih sedikit tetapi menggambarkan lebih banyak” (1984: 73).

Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan. Pendekatan pertama, yang memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Pendekatan ini dikaitkan dengan ekologi budaya dan materialisme kebudayaan, serta bisa ditemukan dalam kajian atropolog Julian Steward (1955), Leslie White (1949; 1959), dan Marvin Harris (1968; 1979). Pendekatan kedua, yang memandang bahwa kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kekebudayaannya. Pendekatan tersebut memiliki banyak nama dan diasosiasikan dengan; etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi baru. Para tokoh kelompok ini adalah Harold Conklin (1955), Ward Goodenough (1956; 1964), dan Charles O.Frake (1964, 1963; 1969).

Pendekatan ketiga, yang memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Tokoh-tokoh antropolognya adalah kelompok strukturalisme yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss (1963; 1969). Sedangkan pendekatan keempat, adalah yang memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri atas simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan tersebut tokoh antropolognya adalah Cifford Geertz (1973; 1983) dan David Schneider (1968).